Jumat, 10 Desember 2010

Etika Bisnis

Lestari (10207652)
4ea03

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Kasus Bencana Alam

Bencana alam berturut-turut melanda Indonesia dalam skala yang sungguh besar, sehingga tidak akan mampu ditangani oleh pemerintah secara sendirian. Belum lagi sembuh luka di Alor dan Nabire, kita menyaksikan sebuah bencana alam yang dampaknya belum pernah kita saksikan sebelumnya. Provinsi paling utara Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam serta Sumatera Utara diluluhlantakkan oleh gelombang Tsunami yang mengikuti gempa berkekuatan 9
skala Richter. Kini, Gunung Merapi sedang terus mengeluarkan isi perutnya, dan gempa tektonik mengguncang lokasi yang sama Sabtu lalu, yang mengakibatkan 4.000 orang meninggal dunia.

Dengan terbatasnya kemampuan pemerintah, bencana alam merupakan kejadian saat tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) dapat ditunjukkan. CSR didefinisikan sebagai strategi perusahaan untuk meminimumkan dampak negative serta memaksimumkan dampak positif bagi para pemangku kepentingannya, maka apa yang kini telah ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan dalam menyikapi bencana alam di Aceh ini dapat dimasukkan ke dalam pengertian tersebut. Dalam hal ini, perusahaan hendak memaksimumkan dampak positif kehadirannya kepada pemangku kepentingan yang spesifik, yaitu masyarakat yang sedang mengalami bencana dan membutuhkan pertolongan dengan segera. Bisa saja, masyarakat tersebut tergolong dalam pemangku kepentingan primer maupun sekunder dari perusahaan yang hendak menunjukkan tanggung jawabnya.

Berbagai skema CSR itu dibedakan menjadi skema jangka pendek atau incidental serta skema jangka panjang atau strategik. Kalau diamati secara sepintas, maka apa yang telah dilakukan oleh banyak perusahaan dalam membantu korban bencana alam di Aceh dan Sumatera Utara adalah berada dalam skema yang insidental. Skema ini tidaklah buruk, namun sesungguhnya masih mengandung banyak hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut lagi, selain apa yang telah ditunjukkan dalam beberapa hari ini.

Pertama, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh beberapa kasus, perusahaan- perusahaan dapat memobilisasi sumberdaya yang tidak hanya berupa uang tunai perusahaan, yang secara lazim memang dibuat pos anggarannya untuk kepentingan insidental seperti ini. Sumbangan uang tunai maupun lainnya sesungguhnya bisa juga dimobilisasi dari sumbangan karyawan, maupun perusahaan-perusahaan dalam satu kelompoknya atau bahkan dalam satu rangkaian produksi, misalnya dari para pemasoknya. Tentu saja, jumlah uang yang kemudian dapat dikumpulkan akan menjadi lebih besar sehingga manfaat pertolongan yang diperoleh akan pula menjadi semakin besar. Ini berarti bahwa dampak positif yang hendak ditunjukkan oleh perusahaan pun semakin besar.

Kedua, perusahaan dapat memikirkan untuk memberikan bantuan yang sesuai dengan produk barang maupun jasa yang dihasilkannya. Perusahaan adalah entitas yang memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat, dan dalam kasus-kasus bencana alam, ketersediaan produk-produk itu dapat dipastikan sangat menurun. Karenanya, perusahaan-perusahaan dapat juga memberikan bantuan in kind ini. Dalam bencana alam di Aceh dan Sumatera Utara ini, banyak perusahaan yang seharusnya mengkaji secara cepat apakah produknya dibutuhkan oleh masyarakat setempat dalam kondisi darurat. Produk-produk makanan atau minuman yang mengandung nutrisi yang diperlukan untuk anak-anak maupun dewasa sangatlah dibutuhkan dalam jumlah yang besar, dan ini merupakan peluang bagi perusahaan-
perusahaan produsennya untuk memaksimumkan dampak positif mereka. Produk pakaian atau garmen tertentu juga sangat dibutuhkan mereka yang kebanyakan hanya mempunyai pakaian yang melekat di badan ketika menyelamatkan diri.

Produk yang juga sangat vital dibutuhkan adalah peralatan transportasi berupa kendaraan. Sebagaimana yang disaksikan di layar kaca, banyak sekali masyarakat yang mengalami bencana itu, maupun mereka yang menjadi sukarelawan, sangatlah berkepentingan untuk bepergian dengan kendaraan. Tentu saja, barang komplementernya berupa bahan bakar juga dibutuhkan. Ini membuka peluang bagi perusahaan pembuat atau perakit kendaraan serta bahan bakar untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya. Selain itu, peralatan telekomunikasi bergerak juga sangatlah dibutuhkan, mengingat jaringan telepon stasioner mengalami kerusakan yang parah. Ini juga merupakan peluang lain yang harus ditangkap oleh perusahaan penyedia barang maupun jasa telekomunikasi itu.


Ketiga, sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan asing, tanggung jawab sosial dapat pula ditunjukkan dengan menyumbangkan waktu dan tenaga dari karyawannya untuk menjadi sukarelawan dalam penanganan bencana alam, dengan tetap menjadi tanggungan perusahaan untuk membayar waktu dan tenaga yang dicurahkan itu. Tentu saja hal ini lebih relevan untuk dilakukan oleh perusahaan yang operasinya berada dalam jarak yang relatif dekat dengan lokasi bencana.

Keempat, perusahaan juga mungkin menunjukkan tanggung jawabnya dengan jalan memanfaatkan kemampuan dalam emergency response yang biasanya dimiliki oleh mereka yang beroperasi dalam wilayah atau situasi yang membutuhkannya. Kemampuan itu dapat dimanfaatkan untuk melakukan manajemen krisis yang terjadi. Hal ini tampaknya masih kurang dikuasai oleh para sukarelawan yang kini bekerja, baik dari pemerintah maupun dari organisasi masyarakat sipil. Situasi kekacauan hingga kini masih tampak mendominasi sebagian besar tempat, sehingga kebutuhan atas manajemen krisis sesungguhnya sangat pula dibutuhkan. Perusahaan-perusahaan dapat menyumbangkan ahli-ahli mereka maupun konsultan eksternal yang mereka biasa pergunakan.

Kelima, perusahaan asing tertentu dapat membujuk pemerintah negaranya untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam bentuk hibah kepada pemerintah Indonesia. Di Aceh, misalnya, perusahaan ekstraktif yang telah lama beroperasi tentu saja telah juga mendapatkan keuntungan yang besar, yang sebagiannya dibayarkan kepada negara asalnya dalam bentuk pajak. Karenanya, menjadi masuk akal apabila negara bersangkutan seharusnya merasa memiliki keterikatan dengan Aceh, dan bersedia untuk memberikan hibah yang jumlahnya proporsional dengan keuntungan yang selama ini telah dinikmati. Perusahaan-perusahaan seharusnya merasa memiliki tanggung jawab etis untuk mengingatkan negara-negara asalnya itu bahwa keuntungan itu berasal dari satu tempat spesifik dan tempat itu kini tengah
mengalami bencana dahsyat.

Terakhir, penting diingat oleh perusahaan adalah bahwa pemulihan kehidupan di daerah bencana akan memakan waktu yang cukup panjang. Pemerintah Indonesia memperkirakan total dana yang dibutuhkan untuk itu adalah sekitar 10 trilyun rupiah dengan curahan waktu bakal melampaui 5 tahun ke depan. Ini tentu saja membutuhkan pula perhatian segenap pihak, termasuk perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan, terutama yang telah dan akan memiliki wilayah operasi di Aceh dan Sumatera Utara, harus pula memikirkan suatu skema tanggung jawab sosial yang tidak sekedar insidental, melainkan lebih strategik. Kehidupan masyarakat yang morat-marit setelah bencana ini membutuhkan perhatian dalam mengembalikan beragam kapital yang diperlukan untuk melanjutkan hidup. Termasuk di dalamnya adalah kapital ekonomi berupa kesempatan-kesempatan kerja dan usaha baik yang akan berhubungan dengan operasi perusahaan maupun yang tidak. Program-program pengembangan masyarakat yang benar-benar strategik kelak akan sangat dibutuhkan di wilayah pascabencana alam, dan hal itu membutuhkan komitmen perusahaan yang lebih serius.

Yang juga sangat penting dipikirkan adalah tindakan-tindakan pengurangan dampak sebelum bencana benar-benar terjadi. Pada 5 Januari 2005, World Conference on Disaster Reduction di Hyogo, Jepang, menyatakan pentingnya tiga tujuan strategis, yaitu (1) integrasi risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, (2) pengembangan serta penguatan institusi dan mekanisme pengurangan dampak bencana, dan (3) inkorporasi sistematis terhadap pendekatan reduksi risiko ke dalam kesiapan menghadapi, tanggapan atas, serta pemulihan pascabencana. Perusahaan yang beroperasi di wilayah berpotensi bencana kiranya wajib mengembangkan kebijakan dan praktik yang sesuai dengan tujuan strtegis di atas.

Kalau CSR itu ditunjukkan, maka perusahaan-perusahaan dapat berharap bahwa ijin sosial untuk beroperasi, yaitu dukungan masyarakat, akan terus diperoleh. Tentu saja, hal tersebut harus terus disertai dengan upaya-upaya meminimumkan dampak negative keberadaan perusahaan, tanpa terkecuali.

Koran Tempo, 30 Mei 2006

Jalal, Lingkar Studi CSR

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:MS3zK5MpcagJ:www.csrindonesia.com/data/articles/20070114140948-a.pdf+contoh+kasus+tentang+tanggung+jawab+sosial+perusahaan&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiYPh_PaNuU1g3X79GOy3MlMTQGg-SNGAhwmVWy6WBUo7v2uvkshwh84sr82RokFa_FpUaiVW3LZy3H0hiJ0zC_zAwqUQEJZUUtCUmq3goIKOlQaKC2EWZ9TZPcdKBzmvySq_6F&sig=AHIEtbTqsqNfyem9-pHQBoWc1VfvpKN89A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar